12 Agustus 2014

Puncak Makawembeng (Foto)

Melihat Danau Tondano dari Puncak Makawembeng

Satu lagi lokasi fotografi yang luar biasa. Puncak Makawembeng

08 April 2013

Air Terjun Tunan (My fotografi)

 Air Terjun "Tunan" Minahasa Utara
Tunan adalah sebuah Air Terjun yang terletak di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Indonesia. Air terjun dengan ketinggian kira-kira 30m menjadi daya tarik tersendiri karena letaknya yang berada di tengah hutan kelola sekitaran desa Talawaan. Meski demikian, Tunan dapat di jangkau dengan kendaraan pribadi. Jalan-jalan yuk.

14 Mei 2012

Desaku Pinabetengan Utara


Langit cerah di siang hari dan taburan bintang di malam hari menjadi pemandangan yang biasa di Desa Pinabetengan Utara.
Hujan turun pada musimnya bunga bersemi pada musimnya. Udara sejuk dan hembusan angin sepoi-sepoi menjadi sumber semangat beraktivitas.




Mungkin banyak dari kami yang tidak mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi, tapi kami mengerti bagaimana menjalani hidup dengan memaksimalkan petensi dan sumber daya yang kami miliki.






Tolong biarkan anak cucu kamipun merasakan keselarasan antara Manusia dan Alam di tanah tempat hidup kami ini.






Terima kasih sudah berbagi… Wassalam.

11 Maret 2010

Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa

Tulisan ini dibuat oleh Oleh: Rikson Karundeng

Waktu telah menunjukkan lepas pukul 09.00 WITA dan porsi terakhir nasi goreng istimewa racikan Chef Denni Pinontoan telah dituntaskan. Tim Ekspedisi Mawale Movement (Greenhill Weol, Rikson Karundeng, Denni Pinontoan, Fredi Wowor Bodewyn Talumewo dan Frisky Tandayu), dengan penuh semangat meninggalkan Steleng Mawale di Bukit Inspirasi Tomohon untuk memulai agenda touring bertajuk “Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa“ Senin, 8 Maret 2010.
“Ado minta maaf ta lat ! Kita so pagi-pagi deri Pinabetengan mar pas singgah pa Fredi di Sonder, Tuama kote da asik ba browsing di warnet. Sonder memang cuma kacili, mar warnet di mana-mana, jadi nyaku bingo mo cari ka mana pa dia,” ujar Friski dengan nada low khasnya dan ekspresi “rasa bagitu” khas Tontemboan.

Ungkapan Frisky itu ditanggapi gelak tawa Tim Ekspedisi Mawale Movement (Selanjtnya disingkat Tim E Man) yang lain. Dan cerita itu berlalu seiring berkurangnya tetesan bensin dari tiga kendaraan roda dua yang ditumpangi enam Waraney Mawale Movement itu. Sebelum mengisi bahan bakar di Wanua Woloan, Tim E Man menyempatkan diri untuk melihat dari dekat Waruga Dotu Supit yang berdiri kokoh tepat di depan gedung Gereja GMIM Eben Heazer Woloan. “Dulu waktu ini greja da bangun tahun 90-an, pernah ada rencana mo se pindah tu waruga. Mar, banya jemaat nda setuju termasuk kita. Karna itu kan nyanda menggangu apapun,” terang Om Poluan, yang sehari-hari ditugaskan sebagai Kostor di gereja tersebut.


Waruga Dotu Supit di Woloan


“Depe cerita jelas tentang ini waruga nanti torang baca kong dikusikan di steleng. Soalnya kita pe mahasiswa bimbingan skripsi, baru-baru da biking penelitian tentang itu waruga,” kata Denni sambil mengajak Tim E Man untuk segera melanjutkan perjalanan.

Setelah melewati Wanua Taratara, Ranotongkor, Lolah dan Lemo, 35 menit kemudian Tim E Man telah memasuki Wanua Sarani Matani Kecamatan Tombariri. Udara panas yang tak biasa dinikmati di Tomohon, seakan membungkus erat tubuh, hingga memaksa Tim E Man untuk berhenti sejenak melepas lelah. Jembatan tua yang diperkirakan dibangun sejak zaman Belanda yang terletak di ujung Wanua Sarani Matani menjadi tempat pilihan Tim untuk beristirahat sambil menatap dengan decakan kagum jembatan kayu yang masih berdiri kokoh itu.

Baru saja starter motor dihentakkan, mesin kendaraan harus berhenti kembali tat kala mata Denni Pinontoan menangkap sebuah batu yang direspons otaknya sebagai sebuah waruga. Ternyata benar itu sebuah waruga, sayang terkesan tidak pernah diindahkan sehingga tumpukan pasir dan sampah yang ada di sekitarnya lebih mudah dikenali ketimbang waruga itu. “Itu kwa waruga deri sebelah utara kampung, kong tahun 90-an ada kase pindah di muka kantor kuntua ini Menurut cerita, waruga itu da kubur akang torang pe dotu yang pertama kali buka ini kampung. Torang so nda tau depe nama, mar ini waruga da kase pindah di sini supaya torang boleh mo inga trus pa dia yang ada jasa besar da buka ini kampung,” jelas Feri yang kebetulan sedang mencucui kendaraan di samping waruga tersebut.

Salah satu yang terprogram di otak personil Tim E Man hari itu adalah menemukan parigi (sumur) Pingkan. Hasrat itu kemudian mendorong Tim untuk menelusuri lorong-lorong di Wanua Ranowangko Kecamatan Tombariri. Di salah satu lorong, mata Tim E Man terhenti pada sebuah waruga yang tampak bagian atasnya telah diperindah dengan semen dan telah dimanfaatkan sebagai pampele angin untuk dodika oleh pemilik kios makanan di tempat itu. “Itu kwa waruga dotu Lokon. Salah satu yang bilang pa torang itu dotu Lokon punya, Gubernur Worang. Dia kan dulu ja kampetan. Dulu depe model memang so bagitu mar lantaran so ja ancor depe atas kong dan tahang deng semen sadiki. Di seblah ini lei ada waruga mar waktu saman Worang, dorang da se pindah di puncak Tasik Ria. Waktu itu, Gubernur Worang da tata samua ini waruga di sini. Dia lei yang biking kase bagus tu lokasi di parigi Pingkan yang ada di blakang sana,” terang Om Yan Rengkung, sambil mengarahkan telunjuk ke arah Timur untuk menunjuk lokasi Sumur Pingkan yang dicari Tim E Man.

Om Yan pun langsung mengajak Tim E Man untuk menuju lokasi Sumur Pingkan yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari waruga tersebut. “Menurut cerita, itu Pingkan asli sini. Dulu waktu nona-nona, dia pernah se tanang depe keris di sini. Waktu dia cabu, kaluar aer kong nda pernah brenti sampe skarang. Biar musim panas panjang, deri dulu nda pernah brenti ini aer, malahan ada orang-orang deri Tomohon ja datang ambe aer di sini kalu musim panas. Tahun 1972, ini tampa lei Gubernur Worang da tata. Kebetulan kita salah satu pengerja waktu itu,” tutur Om Yan dengan wajah serius.


Parigi Pingkan


Saat hendak beranjak dari Sumur Pingkan, Green Weol melempar senyum sekaligus tanya ke Rikson Karundeng, “Con, ngana da ba cuci muka tadi ? Fredi, Kiki, Deni, Bode deng kita kwa da cuci muka. Soalnya, menurut cerita masyarakat itu aer di Sumur Pingkan ja biking pasung deng awet muda”.
“He..he..he…kita so nda cuci muka deri kalu mo cuci muka, kita somo lebe bahaya. So itu kita kurang da se basah tu kapala supaya tu otak mo lebeh pasung,” jawab Rikson.

Kira-kira 40 meter dari Sumur Pingkan, Tim E Man menyaksikan secara langsung batu Sumanti yang sudah sering didiskusikan di Mawale Movement. Menurut cerita, lima batu yang berdiri kokoh itu merupakan salah satu tempat ritual Tou Minahasa zaman dulu. “Ini batu kwa so lama. Deri kita pe nenek tua lei so ada ini batu. Mar yang biking ini tampa kwa, Gubernur Worang. Dulu ini di blakang pa torang pe rumah kong akhirnya tu rumah yang se pindah ka blakang,“ terang Om Kaunang, yang selanjutnya menjelaskan kalau tanah itu memang milik keluarga Kaunang sejak dahulu kala.

Waktu teleh menunjukkan pukul 12.30 dan Tim E Man memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi dan menuju ke Wanua Lelema Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Saat berada di ujung sebeah Selatan Wanua Senduk, Bodewyn Talumewo meminta untuk istirahat sejenak sembari melihat 30-an makam Pejuang Permesta yang terletak di samping jalan raya. “Ini kubur ada 30-an. De pe cerita, waktu tanggal 14 Februari tahun 1960, tetara Permesta menghadang konvoi tentara pusat di sepanjang jalur ini. Dalam pertempuran itu, banyak tentara pusat yang meninggal namun di pihak Permesta, ada 30-an korban. Dorang ini satu Batalion. Lantara di lokasi sini tu paling banya da korban, tu korban di beberapa tempat lain dorang kumpul kong kubur di sini,” kata Bode dengan gaya bertuturnya yang halus namun meyakinkan.

Sebelum memasuki Wanua Lelema,Tim E Man berhenti sejenak di lokasi resting area yang dibangun pemerintah Kabupaten MInahasa selatan. Sembari melepas lelah, Tim E Man menikmati menu makan siang berupa dua bungkus kue Pia yang sempat dibeli Mner Fredy di Wanua Woloan. “Sungguh besar kasih Opo Empung, sehingga kita boleh menikmati Pia deng aer Mineral ini siang,” kata Frisky dengan wajah yang tampak bangga.

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WITA saat kami menginjakkan kaki di Wanua Lelema, tepat di ujung sebelah Utara Wanua dimana batu menhir berdiri tegak. Setelah mengamati secara cermat dan mendiskusikan batu yang sering dibicarakan sebagai “batu bertumbuh” itu, Tim E Man memutuskan untuk mencari tua-tua wanua agar bisa mengorek informasi lebih banyak mengenai keberadaan batu tersebut.

“Menurut cerita orang tua, batu itu sebenarnya berasal dari daerah Tombariri. Salah seorang dotu di sana pernah mengadakan sayembara, sapa yang boleh mo dapa angka itu batu, dia boleh kaweng deng tu dotu pe putri. Dan yang berhasil mengangkat batu itu torang pe dotu. Ada lagu yang dikenal masyarakat yaitu lagu “Burung Putih di Laut Biru” yang menceritakan tentang pesan torang pe dotu pa burung putih supaya kase tau di Lelema bahwa dia so berhasil angka itu batu kong dapa putri,” terang Opa Festus Rompis, sembari menegaskan keyakinannya bahwa tidak benar kalu batu itu bertumbuh. “Jadi, ini batu sebenarnya batu Tumotowa. Ini Lelema depe cerita, tiga kali pindah tampa. Waktu Tumani pertama kali di sini. Setelah itu pindah di daerah kobong pece skarang di daerah Selatan kampung skarang. Mar, karna sering dapa gangguan deri ketang (Kepiting), para dotu memutuskan untuk pindah lagi di daerah tenga kampung yang skarang. De pe Batu Tumotowa katiga skarang masih ada. Itu batu baku sei deng dua waruga yang menurut cerita adalah waruga dotu yang meninggal waktu perang melawan Mangindanau”.


Batu Tumotowa Pertama di Wanua Lelema yang juga dikenal dengan "Batu Bertumbuh"

Opa Rompis menjelaskan kalau kata Lelema itu sebenarnya berasal dari bahasa Tombulu palemaan yang artinya tempat makan pinang. Dikisahkannya, dahulu ketika perang Minahasa degan Bolaang Mongondouw begelora,termasuk saat perang dengan Mangindanau, daerah tersebut merupakan tempat persinggahan para dotu untuk beristirahat sambil makan pinang. Mereka yang singgah dan beristirahat itu, ada yang akhirnya menetap. Makanya, daerah Lelema dihuni oleh turunan para dotu dari Tolour, Tombulu, termasuk Tontemboan yang lebih dahulu berada di wilayah itu.
Mengapa para dotu sering bertarung melawan para Mangindanau di wilayah ini ? Menurut Opa Rompis, dahulu sungai yang melewati Wanua Lelema adalah jalur masuk para Mangindanau ke daerah pegunungan Minahasa. Makanya para dotu Minahasa menjadikan Lelema sebagai daerah untuk mengahadang mereka. Salah satu bukti, adalah dengan ditanaminya beberapa wilayah di sekitar sungai dengan tanaman Bambu berduri yang dikenal masyarakat dengan Bulu Tutunean, untuk menghambat perahu para Mangindanau.

Berdasarkan petunjuk yang diperoleh dari Opa Rompis, Tim E Man melanjutkan pencaharian waruga dan batu Tumotowa yang katanya berada di tengah Wanua Lelema kini. Waruga yang berjumlah dua buah dengan batu Tomotowa dimaksud ternyata mudah ditemukan karena tepat berada di samping jalan raya. “Dulu katu ada nenek Sorongan yang ja urus tu Tumotowa itu. Dia kwa kata dulu sering ja dapa mimpi kong dapa suru mo jaga tu batu. Karna kalu nda mo jaga, torang di Lelema mo susah dapa berkat deng gampang mo dapa macam-macam kesusahan. Mar tu nenek kwa so mati dua taong lalu. Kalu tu dotu yang se badiri ini kampung, de pe waruga ada di seblah rumah sini. Tu dotu Mapaliey ini yang menurut cerita dia yang angka tu batu di ujung Lelema,” kata Om Sinyo Mira, salah seorang warga yang tinggal di samping waruga-waruga tersebut.

Dari info Om Mira, Tim E Man kemudian melihat secara langsung waruga Dotu Mapaliey yang terletak di depan rumah Om Max Rembang. Menurut cerita warga, dotu Mapaliey juga adalah dotu yang mendirikan Wanua Tumpaan.


Waruga "Sang Legenda" Dotu Mapaliey, di Wanua Lelema


Tak terasa, mentari semakin menghampiri pembaringannya di ufuk barat. Tim E Man pun memutuskan untuk mengahiri ekspedisi kali ini dan kembali ke steleng di Tomohon. Jalur terdekat yang kemudian dipilih untuk menjadi jalan pulang adalah jalur Tangkuney, Timbukar, Tincep, Sonder, Tomohon. Jalur ini memang paling dekat namun merupakan jalur yang paling menantang untuk dilalui. Sebab, selain kondisi jalan yang sangat memperihatinkan, jalur ini juga terkenal dengan tanjakan yang berkelok-kelok dan himpitan dinding batu dengan jurang yang terjal. Disamping itu, Tim E Man juga bisa menikmati keindahan air terjun Timbukar dan Tincep yang memang luar biasa namun belum dikelolah dengan baik, termasuk nikmatnya kopi dan kukis apang yang memang sudah menanti di rumah keluarga Wowor yang ada di Sonder.

Situs-situs yang dijumpai Tim E Man, barangkali hanyalah benda mati berwujud batu. Namun, seperti kata Fredi Wowor, itu adalah penanda tentang banyak hal mengenai Tou Minahasa. Batu-batu dengan bentuk dan goresannya telah memberi gambaran bahwa jauh sebelum sekarang, Tou Minahasa telah memiliki kebudayaan yang luar biasa. Dari penanda-penanda inilah bisa ditemukan kisah-kisah heroik, keperkasaan, kecerdikan, serta kereligiusan Tou Minahasa yang tak pernah di catat dalam sejarah Indonesia dan kini mulai hilang dari memori Si pemilik.

Salah satu nama yang sering di dengar dalam ekspedisi kali ini adalah Gubernur Worang. Sosok ini brangkali adalah sosok yang kontrofersial dan sebagai manusia barangkali memiliki banyak kekurangan. Namun, apa pun yang mau dikatakan Tou Minahasa saat ini, tak bisa dibantah bahwa dia adalah salah satu Tou Minahasa yang berjasa dalam dalam upaya untuk menemukan dan menjaga situs-situs budaya Tou Minahasa. Ini tentu berbeda dengan Gubernur Sulut lainnya yang terkesan lebih menyukai membangun situs-situs baru ketimbang menemukan, menjaga dan mengangkat situs-situs budaya yang pernah ada.

Air terjun timbukar

25 Februari 2010

08 Mei 2009

Menyoal Pelayanan Darah Transfusi di Sulawesi Utara

Dapatkah Palang Merah Indonesia SULUT menyediakan Darah yang AMAN dan Tepat waktu saat ini?


Catatan Profesi oleh :

Frisky A.S. Tandaju

(Alumnus D1 Parmedis Teknologi Transfusi Darah Jakarta. Angkatan VI tahun 1999 – 2000)


Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) SULUT dibawah naungan Palang Merah Indonesia (PMI) Daerah SULUT kini sebulan sudah dipimpin oleh dr. Edly Paat, DK sejak serah terima jabatan dengan dr. Franckie R.R. Maramis, PKK. DK. SpKT pada awal April 2009 lalu. Sampai tulisan ini saya buat, masih terus dilakukan perubahan dan pembenahan di dalam UTDD SULUT seperti perubahan fisik gedung, pemindahan ruang pelayanan pasien, laboratorium crossmatching, serta ruang administrasi UTD. Administratifpun tak luput dari perubahan berupa penggantian dan pengangkatan kepala kepala bagian, penambahan pegawai administrasi, sampai pada penetapan peraturan – peraturan baru.

UTDD PMI SULUT resmi mulai beroperasi pada tahun 2003, sejak perubah status dari Unit Transfusi Darah Cabang PMI Manado. Perubahan status ini dirasa perlu oleh karena meningkatnya kebutuhan darah se SULUT. Peningkatan kebutuhan darah ini menuntut PMI Daerah SULUT untuk mengelola public service ini secara professional dalam arti UTDD SULUT sebagai satu satunya Unit transfusi darah Daerah di SULUT harus mampu menyediakan darah yang aman dan tepat waktu bagi public. Adapun beberapa hal penunjang yang wajib dipenuhi yaitu tersedianya fasilitas yang memadai untuk UTDD, cukupnya tenaga kesehatan berupa dokter, paramedis teknologi transfusi darah (PTTD) dan Asisten transfusi darah (ATD), serta penunjang administratif. Hingga hari ini UTDD PMI SULUT memiliki 2 orang dokter, 9 orang PTTD, dan 3 orang ATD. Sayangnya dari sejumlah tenaga kesehatan diatas dibagi dengan : Dari 2 orang dokter 1 orang Kepala UTDD dan 1 orang staf dokter pelayanan donor. Demikian pula dengan 9 orang PTTD yang bertugas aktif hanya 7 orang sedangkan 2 orang lainnya ditugaskan sebagai staf administrasi di kantor PMI Daerah SULUT. Hal yang sama juga berlaku untuk 3 orang ATD, yang bertugas aktif hanya 1 orang sebab 2 orang lainnya menempati posisi struktural. Berarti sekarang tenaga teknis kesehatan di UTDD SULUT adalah 1 orang dokter, 7 orang PTTD dan 1 orang ATD padahal UTDD ini memiliki bagian pengambilan dan perawatan darah, leboratorium uji saring dan komponen darah serta laboratorium crossmatching dan pelayanan pesien yang kesemua bagian tersebut wajib diisi oleh teknisi kesehatan pada 3 shift tugas tiap 24 jam. Bukanlah hal sederhana bagi UTDD SULUT yang merupakan satu satunya UTDD di SULUT untuk melayani kurang lebih 1500 orang pasien perbulan. Muncul pertanyaan Apakah UTDD SULUT dapat melayani secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan darah seSULUT yang meliputi Manado (1 RSU Pusat, 1 RSU Daerah, 7 RS swasta), Bitung (1 RSUD, 3 RS Swasta), Minahasa (2 RSUD, 2 RS swasta), dan Minahasa Selatan (2 RS swasta)?

Seperti apa sebenarnya pekerjaan yang dilakukan di sebuah UTDD? Gambaran singkatnya adalah bahwa Unit Transfusi Darah (UTD) merupakan sebuah Unit yang melayani kebutuhan darah dari pasien di rumah sakit sebab darah sebagai bahan “obat”, dan tanpa transfusi darah, pengobatan perdarahan berat akan sulit dan tidak mungkin. Demikian pula prosedur bedah bisa kurang aman tanpa darah. Darah yang disediakan oleh UTD adalah darah yang aman dari Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) seperti HIV, Hepatitis B, Hepatitis C, serta kemungkinan Malaria, Types, dan Sifilis. Darah yang ada di UTDD didapat dari perorangan pendonor darah yang sehat secara fisik pada batasan usia 17 sampai 60 tahun. Pendonor darah menyumbangkan darahnya melalui kegiatan donor darah atau datang langsung ke kantor UTD. Darah tersebut kemudian diseleksi di Laboratorium UTD dengan melewati proses uji saring IMLTD, serology golongan darah A-B-O-AB dan Rhesus, serta pemeriksaan lanjutan. Hasil dari proses di atas adalah darah yang kemungkinan memiliki IMLTD (Darah ini kemudian dimusnahkan dengan melalui proses khusus), serta darah yang aman dari IMLTD dengan kepastian hasil serology golongan darah. Darah yang aman ini kemudian diolah menjadi komponen darah lalu kemudian disimpan menjadi stok darah UTD. Setiap pasien yang datang ke UTD mendapat darah dari stok dengan terlebih dahulu dilakukan crossmatcing di Laboratorium pelayanan pasien antara sampel darah pasien dan darah stok hingga aman digunakan untuk transfusi darah.

Tujuan pelayanan transfusi darah adalah memberikan darah dan produk darah yang efektif, seaman mungkin. Dari gambaran singkat tadi dapat diketahui bahwa tersedianya darah aman serta memenuhi standar secara kwalitas dan kwantitas membutuhkan proses dan penangan secara professional karena transfusi darah juga mengandung resiko seperti penularan IMLTD karena uji saring yang buruk dan mal praktek seperti kesalahan distribusi darah berbeda golongan darah akibat crossmatching yang tidak sesuai prosedur. Adapun salah satu kemungkinan terjadi kesalahan juga disebabkan oleh penggunaan bahan pemeriksaan (reagensia) yang tidak memenuhi standar hingga resiko – resiko kesalahan akibat transfusi darah terjadi. Amankah darah yang disediakan oleh UTDD PMI SULUT?

Faktor keaman darah serta pelayanan tepat waktu merupakan kebutuhan public dan adalah tanggung jawab UTD untuk memenuhinya. Proses pelayanan tersedianya darah tepat waktu telah menjadi persoalan klasik di UTDD PMI SULUT dan mungkin juga terjadi di UTD lain, namun dapatkah persoalan ini diselesaikan? Apakah darah yang ada di UTDD SULUT bermutu secara kualitas dan kwantitas dan siap tepat waktu?

Menurut hemat saya professionalisme kinerja dan pelayanan maksimal UTD dapat dicapai dengan penerapan prosedur kerja standar yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi kebutuhan UTD serta pengoptimalan tenaga Teknisi transfusi darah seperti PTTD dan ATD yang ada di UTDD SULUT dan bila perlu dilakukan perampingan karyawan demi penekanan cost UTD. Akan menjadi hal penting bila demi pelayanan maksimal, UTD dikelola secara professional oleh tenaga yang memiliki kompetensi di bidang transfusi darah maka sekiranya mungkin perubahan demi perubahan dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan public sebab Unit Transfusi Darah bukan hanya milik PMI Daerah SULUT atau pimpinan dan pegawainya tetapi juga milik public.

Demikian catatan profesi ini saya buat dengan harapan bahwa dikemudian hari dapat tercipta suatu keselarasan hubungan saling membutuhkan antara public service seperti UTDD PMI SULUT dengan public pengguna jasa seperti pasien dan donor darah.

06 April 2009

Foto Desa Pinabetengan 2008

Serba serbi 2008
Foto foto Desa Pinabetengan


Penunggang Kuda "Cakalele" dari Desa Pinabetengan

Ini foto waktu Festival seni budaya 2008

Grup Maengket "Manguni Makasiow" Pinabetengan
Ini foto waktu Festival seni budaya 2008

"Umper"
Sesajian untuk para leluhur sebagai bentuk syukur
ini foto waktu acara syukur HUT Desa Pinabetengan
dan Lomba Menu Tradisional antar jaga

Pemandangan Desa Pinabetengan dari Watu Pinawetengan


Ini Qta dengan Raymon Wowiling, S.Sos
Foto di Waruga tompaso (Kompleks Desa Tonsewer)

01 November 2008

DIARY OKTOBER 2008

Menanti Esok Di Bangsal Rumah Sakit

Dimana ini? Sepertinya bukan dirumah! Tempat ini memang tidak asing tapi dimana ya? Tanyaku dalam hati. Rasa penasaranku hilang setelah seorang suster cantik membangunkan aku untuk mengambil darah. Sebuah suntikan baru di tangannya, yang saya tau pasti itu untuk mengambil darah. “mo ambe darah ne om” suara suster itu membangunkan aku.
Jam 05.00 pagi aku teringat kemarin hari saat aku merasakan sakit luar biasa dalam kepalaku, otot di kepalaku menegang, pembuluh darahku serasa mau pecah keluar dari kulit kepala. Seluruh tubuhku bergetar, merinding menahan panas yang bergejolak di dalam tubuh ini. Jam 14.00 siang aku tak kuat lagi menahan rasa sakit akhirnya aku meminta kepada keluargaku untuk di bawa ke rumah sakit di Tomohon. “Mungkin Om saki malaria” pungkas sang juru rawat di rumah sakit begitu kami sampai dan diperiksa disana. “Kurang mo lia hasil pemeriksaan darah di Laboratorium, lebe bae rawat inap jo dulu” dia mengakhiri pemeriksaannya setelah mengambil thermometer yang menunjukkan angka 41 derajat celcius dari jepitan tanganku.
Satu jam berlalu, masih hari minggu 19 Oktober 2008, resep obat pertama yang di beli sudah hampir menyamai seper empat gaji sebulan saya sebagai staf teknis di Unit Transfusi Darah Daerah Palang Merah Indonesia SULUT. “Gila” pikirku, masih biaya obat sudah sedemikian, bagaimana nanti? Keluargaku juga butuh makan, anakku juga butuh susu, aku juga butuh kesehatan. Biaya hidup di zaman ini disadari memang semakin besar, pantas jika orang miskin berteriak meminta biaya kesehatan gratis, orang juga berteriak meminta pendidikan gratis, bahkan ada yang sampai meminta makanan gratis walau harus menggadaikan idealisme dan moralitas. Eh… kenapa sampai bicara hal – hal yang seperti itu ya. Bukannya tadi sedang bicara pengalaman pertama saya masuk rumah sakit sejak 27 tahun terakhir? Yah ternyata begitulah bahasa masyarakat sekarang ini yang semakin terhimpit persoalan ekonomi yang juga dihadapi Negara.
Hari ini memasuki hari ke dua saya menginap di Rumah Sakit ini namun hingga saat ini saya belum mengetahui penyakit apa yang saya idap. Informasi yang didapat dari suster bahwa besok setelah hasil pemeriksaan Lab keluar, barulah saya akan dievaluasi kesehatan oleh Dokter. Jadi menanti besok mungkin akan lebih lama terasa daripada menjalani hari ini. Akhirnya saya mengerti tentang pamaknaan pepatah “Kalau manis jangan langsung ditelan, kalau pahit jangan langsung dimuntahkan”.

Frisky Tandaju; RS Bethesda Tomohon; 20 Oktober 2008

RINDU KAMPUNG

Karya : Frisky A.S. Tandaju

Di kampung
Samua orang rupa sudara
Cuma birman kala-kala basudara
Biar nyanda kakak ade
Baku pangge kakak deng ade

Di kampung
Kiri kanan baku tegor
Baku dapa baku hormat
Orang lewat pangge makang
Biar nda kenal pangge ba singga

Di kampung
Helekan sayor baku berbage
Garam deng rica cuma baku minta
Ada kalebean kase pa sudara
Datang kasusaan sudara baku tulung

Di kampung
Skarang so berobah
Sampe sudara lupa sudara
Gara-gara berbage budel
Kakak deng ade baku angka sabel

Di kampung
Orang jaha so lebe banya
Orang lewat ba pajak akang
Ba hormat malam balas deng pemai
Orang nda kenal pukul dulu baru tanya

Di kampung
So nyanda rupa dulu
Gara-gara doi orang lebe gila
Helekan sudara bole orang jual
Apa lagi nyanda sudara

Di kampung
Skarang kasiang kita so rindu
Supaya bole sama deng dulu
Baku malo deng baku hormat
Baku bae deng baku bantu

(For : Pinabetengan desa tercinta)

27 Oktober 2008

EKSPEDISI 1 : WARUGA MAWALE PINABETENGAN

Berawal dari cerita rakyat yang mengungkapkan bahwa terdapat kehidupan manusia purba Minahasa dan adanya informasi masyarakat sekitar tentang keberadaan situs waruga yang berada disebelah barat daya desa Pinabetengan, tepatnya di perkebunan Mawale, diantara desa Pinabetengan dan desa Kanonang.
Kemudian dengan mulai melakukan pencarian data dan fakta yang diperlukan untuk menemukan yang hilang dari Kebudayaan Minahasa. Berlanjut dengan mempertanyakan tentang keberadaan situs tersebut yang ternyata tidak masuk dalam data base situs purbakala di Sulawesi Utara. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan situs tersebut yang rusak, tidak terawat, dan tidak dilindungi. Artinya bahwa keberadaannya tidak dalam pengawasan pihak terkait. Ironisnya baik masyarakat maupun pihak terkait terkesan tidak peduli dengan keberadaan situs tersebut. Memang benar bahwa peninggalan – peninggalan seperti waruga dan batu bertulis seperti itu kini hanyalah sebuah simbol untuk di kenang oleh masyarakat pada jaman ini namun yang perlu kita renungkan bersama bahwa pada masa lalu, para leluhur tanah MINAHASA telah menciptakan sebuah benda ataupun meninggalkan tanda – tanda yang dapat melintasi zaman untuk di kenang di masa sekarang ini.
Keberadaan waruga – waruga itu merupakan bukti nyata bahwa pernah ada sekelompok orang yang adalah Suku MINAHASA dan tinggal di sekitaran situs. Persoalannya adalah siapakah orang – orang itu. Dari penelusuran kami, ditemukan bahwa dari sisa – sisa waruga di sana tidak memiliki banyak ornament – ornament seperti waruga lain yang ada di tempat lain. Begitu juga dengan motif ukiran pada tutup waruga yang masih berupa ukiran gambar – gambar dan bukan bentuk patung pahatan. Kami menyimpulkan sementara bahwa waruga – waruga tersebut lebih tua dari waruga – waruga yang ada di tempat lain.
Disekitaran tempat dimana waruga – waruga itu berada, kami juga menemukan sebuah batu bertulis yang tulisannya mirip dengan tulisan di Watu Pinawetengan. Apakah Batu itu ada hubungannya dengan Watu Pinawetengan? Hal itu masih dalam penelitian kami. (lihat foto)

PROTOKOL PINAWETENGAN MUDA Gerakan Sadar Kebudayaan

DASAR PEMIKIRAN

Pinawetengan Muda adalah kumpulan Orang muda maupun Orang berjiwa Muda dari Desa Pinabetengan dan Pinabetengan Utara yang membuat Gerakan sadar kebudayaan yang didasarkan pada rasa cinta kepada Tuhan, rasa cinta kepada orang lain, dan rasa cinta kepada para Leluhur. Kenapa Gerakan sadar kebudayaan sebab kebudayaan mencakup secara keseluruhan aspek kehidupan manusia baik pada masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Secara harafiah kebudayaan di definisikan dengan segala hasil cipta, rasa dan karsa manusia baik yang berwujud ideal atau yang di pikirkan maupun material atau yang telah di lakukan/diciptakan manusia.

Rasa cinta kepada Tuhan merujuk pada kesadaran akan manusia yang sejatinya adalah ciptaan Tuhan dan akan kembali kapada Tuhan. Rasa cinta kepada Tuhan juga memberi pengertian akan rasa cinta kepada segala ciptaanNya termasuk mahluk hidup yang lain berupa Hewan, Lingkungan hidup dan alam sekitar.

Rasa cinta kepada orang lain merujuk pada kesadaran akan harkat hidup manusia sebagai mahluk sosial yang tak bisa lepas dari orang lain. Hal ini juga menjelaskan akan penghargaan terhadap manusia lain yang juga memiliki hak – hak asasi, yang menuntut kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan orang lain.

Rasa cinta kepada Leluhur merujuk pada kesadaran akan kebereadaan kita saat ini juga tak lepas dari hasil kebudayaan di masa lampau. Hal ini di aplikasikan melalui penghargaan terhadap benda maupun tempat peninggalan Leluhur yang perlu dilestarikan, dan juga ajaran – ajaran yang diwariskan. Penghargaan terhadap warisan leluhur memberi pengertian akan pemaknaan kita terhadap warisan tersebut, yang sesuai dengan masa sekarang ini misalnya berziarah ke Watu Pinawetengan dan ke Waruga dengan tujuan bahwa pada masa lampau pera leluhur telah berhasil menciptakan atau membuat benda yang mampu melewati zaman untuk di kenal dan di jadikan Identitas Bangsa Minahasa pada masa kini. Pemaknaan terhadap contoh diatas juga adalah Identitas orang Minahasa yang kreatif dan intelek, hal itu patut dijadikan contoh bagi orang muda Bangsa Minahasa sekarang ini. Pelestarian akan ajaran – ajaran warisan leluhur contohnya penggunaan bahasa daerah di kehidupan sehari – hari yang disadari bahwa dengan tuntutan perkembangan zaman telah memaksa kita untuk mengetahui bahasa – bahasa yang digunakan oleh masyarakat global, namun penggunaan bahasa daerah sebagai Identitas orang Minahasa tak kalah penting sebab bahasa daerah dengan dialek yang khas menunjukkan pula jati diri.

VISI DAN MISI

VISI :

Mewujudkan Generasi muda Desa Pinabetengan yang memiliki semangat kompetensi dengan kesadaran kebudayaan yang didasarkan pada rasa cinta kepada Tuhan, rasa cinta kepada orang lain, dan rasa cinta kepada para Leluhur demi Terwujudnya Masyarakat yang Mandiri, Sejahtera dan Demokratis.

MISI :

Dalam merealisasikan Visi Pinawetengan Muda menghadapi era globalisasi, otonomisasi, dan demokratisasi, ditetapkan beberapa misi sebagai berikut :

Mewujudkan generasi muda yang mampu berkompetensi sebagai calon pemimpin di masa datang yang memiliki semangat kompetensi dengan kesadaran kebudayaan yang didasarkan pada rasa cinta kepada Tuhan, rasa cinta kepada orang lain, dan rasa cinta kepada para Leluhur.
Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat, jujur, dan berorientasi prestasi dengan berpedoman pada semangat “Mawale” dan budaya "Sitou Timou Tumou Tou".
Memanfaatkan teknologi yang lebih kompetitif dan berwawasan lingkungan.
Mendukung sepenuhnya Visi dan misi Pemerintah kabupaten minahasa.
Menciptakan masyarakat Desa Pinabetengan di masa datang yang memiliki kesamaan pemahaman mengenai Rasa Nasionalisme dan Rasa cinta terhadap Seni dan budaya dan juga Rasa cinta Lingkungan hidup dan elemen-elemen pendukungnya tanpa melanggar kepentingan umum dan atau peraturan yang berlaku yang ditetapkan oleh pemerintah.


TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan :

Tujuan Pinawetengan Muda adalah:
Sebagai wadah kebersamaan Generasi Muda Desa Pinabetengan yang memiliki kesamaan pemahaman mengenai kesadaran budaya yang didasarkan pada rasa cinta kepada Tuhan, rasa cinta kepada orang lain, dan rasa cinta kepada para Leluhur.
Wadah pendidikan minat dan bakat, pengembangan semagat organisasi, Kreatifitas, dan Intelektualitas.
Peningkatan kegiatan – kegiatan generasi muda yang berdimensi Panca Sadar (Sadar Ketuhanan, Sadar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Sadar Seni Budaya, Sadar Lingkungan, Sadar Identitas)
Wadah meningkatkan rasa solidaritas antar generasi muda desa Pinabetengan.
Menunujang seluruh Program Pemerintah Desa Pinabetengan dan Pinabetengan Utara.

Sasaran :

Sasaran gerakan Pinawetengan Muda ini adalah seluruh generasi muda di Desa Pinabetengan dan Pinabetengan Utara.


SIFAT DAN KEANGGOTAAN

Sifat :

Gerakan Pinawetengan Muda adalah organisasi yang bersifat Gerakan sadar Kebudayaan dengan ruang lingkup terbuka untuk semua generasi muda di Desa Pinabetengan dan Pinabetengan Utara.

Keanggotaan :

Anggota gerakan Pinawetengan Muda adalah Perorangan kaum muda Desa Pinabetengan dan Pinabetengan Utara yang ingin memberikan sumbangsih bagi Bangsa dan Negara.

PENUTUP

Sepenuhnya disadari bahwa usaha untuk menyatukan kesamaan paham mengenai kesadaran kebudayaan yang didasarkan pada rasa cinta kepada Tuhan, rasa cinta kepada orang lain, dan rasa cinta kepada para Leluhur tidaklah mudah, karena itu dibutuhkan dukungan dari semua pihak terkait dalam meningkatkan semangat kompetensi generasi muda menghadapi berbagai tantangan masa depan. Tuhan kiranya memberkati usaha dari niat yang tulus membangun tanah Minahasa tercinta ini.
I Jajat U Santi